https://www.elnusa.co.id/cfind/source/thumb/images/cover_w270_h270_banner-product.jpg
Membangun Tanpa Merusak

PERNAHKAH Anda mendengar tentang “The World’s Most Loveable City”? Ya! Kota yang paling di cintai di dunia, ada di Indonesia. Bukan Bali, bukan pula Jogjakarta. Bukan! Kota itu adalah Balikpapan, gerbang masuk Kalimantan Timur.
Kota Minyak—sebutan Balikpapan, bahkan mengungguli Paris yang ada di peringkat kedua. Pemeringkatan ini berdasarkan polling yang digelar World Wildlife Fund (WWF) yang memasukkan 43 kota di seluruh dunia sebagai kandidat. Balikpapan yang ada di posisi puncak sekaligus dinobatkan sebagai tuan rumah Earth Hour, pada 2015 lalu. Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi menerima penghargaan di Seoul, Korea Selatan, bersamaan dengan digelarnya ICLEI Worlds Congress.
Lantas apa yang membuat kota ini begitu dicintai? Banyak yang beranggapan, Balikpapan menang hanya karena unggul jumlah vote. Jumlah vote, bisa didapat dengan strategi promosi. Bisa jadi. Tapi, saya rasa tidak sepenuhnya begitu. Sebagai warga yang sudah menetap selama satu dasa warsa, saya termasuk yang benar-benar cinta pada Balikpapan. Kenapa? Karena komitmennya dalam hal penataan kota.
Begini. Ada candaan saat saya masih menjadi wartawan, dulu. “Balikpapan itu kota autopilot”. Maksudnya: Siapapun wali kotanya, pemerintahan akan tetap jalan. Kotanya akan tetap rapi. Hutannya tetap terjaga. Pembangunan juga berjalan, tanpa merusak.
Sebab, kesadaran masyarakatnya sudah cukup baik. Ada peninggalan-peninggalan kebijakan dari pimpinan-pimpinan terdahulu yang dipegang erat oleh pemimpin selanjutnya dan telah mandarah daging di kalangan warganya. Salah satunya, Balikpapan “mengharamkan” aktivitas tambang dengan alasan kelestarian lingkungan.
Padahal, potensinya ada. Emas hitam itu ada di lahan-lahan warga. Juga di bawah hutan lindung beribu-ribu hektare itu. Terkubur di dalamnya. Tetapi, kebijakan tetap dipegang teguh. Itu yang saya salut.
Balikpapan itu miniaturnya Indonesia. Semua suku dan budaya, ada di Balikpapan. Jawa, Banjar, Bugis, Batak, Manado, dan masih banyak lagi. Semua rukun dan kompak. Apalagi kalau urusan kebersihan dan kelestarian lingkungan. Tengoklah pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Balikpapan yang jadi percontohan nasional itu. Atau koleksi piagam adipuranya. Kalau Balikpapan bisa, Indonesia juga pasti bisa.
Bukan itu saja, kota ini juga punya perencanaan pengembangan kota yang komit terhadap kelestarian lingkungan. Tertuang jelas dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Balikpapan Tahun 2012-2032. Di mana lebih dari 52 persen daratan Balikpapan ditetapkan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH). Dengan hanya menyisakan 47 persen kawasan budidaya. Bukan cuma isapan jempol, sudah disahkan dalam Peraturan Daerah Kota Balikpapan Nomor 12 Tahun 2012.
RTH meliputi hutan lindung, hutan kota, taman, kebun wisata, buffer zone dan masih banyak lagi. Sedangkan kawasan budidaya meliputi permukiman, perkantoran, industri, juga pendidikan. Di dalam kawasan budidaya, bukan berarti bebas membangun seluas-luasnya. Koreksi jika saya salah. Pemkot Balikpapan hanya memperbolehkan 60 persen dari total area dipakai untuk bangunan. Sedangkan 40 persen sisanya, juga untuk ruang terbuka hijau.
Sekarang bayangkan jika aturan tersebut diimplementasikan di setiap pembangunan. Tentu pembangunan, bukan lagi momok bagi kelestarian lingkungan. Justru, setiap pembangunan akan menambah 40 persen yang tadi, menjadi RTH baru. Apa bisa?
Saya teringat dengan percakapan saya bersama Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Balikpapan, Suryanto. Beliau menjelaskan, setelah kota memiliki Perda RTRW, selanjutnya harus diatur dalam kerangka yang lebih detail, yaitu Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK). Balikpapan, saat ini masih dalam proses.
RDTRK ini yang akan memuat gambaran kota secara utuh. Lengkap dengan peruntukan setiap lokasi. “Misalnya di lokasi ini, masuk kawasan budidaya, jadi boleh dibangun. Di sampingnya sudah masuk kawasan terbuka hijau, jadi harus dilestarikan. Batas-batasnya jelas. Bisa diakses oleh masyarakat luas,” kata pria berkaca mata itu.
Kalau sudah begitu, kewenangan perizinan bisa didelegasikan ke tingkat yang lebih rendah. Misalnya, izin mendirikan bangunan cukup di kecamatan. Izin gangguan, cukup di kelurahan. Ada enam kecamatan dan 34 kelurahan di Balikpapan. Efeknya domino. Warga tak perlu lagi jauh-jauh mengurus perizinan ke kantor dinas. Cukup ke kantor kecamatan. Secara tidak langsung, kemacetan akan berkurang. Emisi gas buang kendaraan juga berkurang. Polusi udara juga berkurang.
Sayangnya, masih sangat sedikit kota-kota di Indonesia yang sudah punya rencana tata ruang dan wilayah. Balikpapan termasuk yang paling getol menyusun dan berkoordinasi hingga ke tingkat kementerian. “Kami mau nantinya Balikpapan jadi percontohan untuk kota-kota lainnya,” kata Suryanto.
Dengan adanya RTRW dan RDTRK, pemerintah kota akan lebih mudah menyusun program untuk melestarikan lingkungan. Misalnya, dari target ruang terbuka hijau seluas 10 ribu hektare, baru tercapai 8 ribu hektare. Artinya, masih kurang 2 ribu hektare. Jadi bisa dimasukkan dalam alokasi APBD. Bisa dicicil. Jika proyek infrastruktur bisa dikontrak tahun jamak (multiyears), proyek untuk kelestarian lingkungan, seharusnya juga tidak ada masalah. Misal, butuh Rp 30 miliar untuk pembebasan lahan dan reboisasi. Lalu dianggarkan dalam tiga tahun, masing-masing Rp 10 miliar.
Jika anggaran daerah terlalu berat, Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan juga bisa dimanfaatkan. Perlunya dibentuk sebuah forum CSR untuk mengakomodasi semua perusahaan yang ada di sebuah kota. Kemudian setiap programnya diatur dan diarahkan untuk hal hal yang benar-benar substansial, termasuk pelestarian lingkungan.
Balikpapan, menurut saya, sudah ada di trek yang benar. RTRW sudah ada, Forum CSR sudah dibentuk, tinggal RDTRK yang harus segera difinalisasi. Itupun sedikit terlambat. Tak dimungkiri kota ini berkembang begitu pesat. Nah, kota-kota lain di Indonesia, bisa mengambil pelajaran. Saatnya untuk mempersiapkan program pengembangan kota yang lebih berwawasan lingkungan. Mulai dari sekarang.
Jangan menunggu pembangunan sudah padat merayap, baru mau diatur. Susah! Apalagi kalau alam sudah marah. Banjir, tanah longsor, naudzubillah. Semua itu bisa dicegah sebelum terjadi, dengan perencanaan yang matang dan implementasi yang akurat.
Semoga tulisan ini bisa menginspirasi dan memberi manfaat untuk setiap pembacanya, agar lebih peduli dengan kelestarian alam. Dari kalangan warga biasa, hingga pejabat pengambil kebijakan. Agar bukan hanya Balikpapan saja yang dicintai, tapi juga Indonesia karena alamnya yang lestari. Selamat Memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2021 – PT Elnusa Tbk.
(*) Penulis adalah Jr. Spv TBBM Pulau Laut.